![]() |
GURU |
Mendengar istilah
"guru" yang terbayang dalam benak kita adalah sosok seseorang
dalam lagu legendaris Oemar bakrienya kang Iwan Fals, seorang laki-laki yang
agak tua dengan setelan sederhana bersahaja, menenteng map atau buku dengan
segala isi tetek bengek absen murid bengalnya, mendorong sepeda butut. Mendengar istilah
"guru" yang terbayang kembali adalah orang yang sederhana dengan gaji
pas-pasan, yang harus mencari tambahan pekerjaan di usai waktu mengajarnya,
demi menghidupi anak dan istri, kalo tak "nyambi" maka anak istri
bisa jadi kelaparan dipertengahan bulan sampai di akhirnya. Kata guru dalam
terminology Jawa "di gugu dan ditiru" ( didengarkan omonganya dan
ditirukan segala tingkah lakunya ), makna itu semakin kabur, sudah sangat susah
memaknai kata tersebut. Dalam sejarah perdaban manusia dimanapun
tempatnya yang disebut guru mempunyai makna yang mendalam dalam kehidupan
masyarakat. Sedikit berkilas balik. Jepang di ambang kehancuranya setelah
diberikan hadiah mematikan oleh sekutu berupa "Little Boy" yang
meluluh lantakan Herosima dan Nagasaki, yang pertama kali di tanyakan oleh
Kaisar Jepang waktu itu adalah " guru yang selamat ada berapa...? ",
betapa mulianya posisi guru bila dimaknai dengan baik.
Guru adalah pendidik dan pengajar
pada pendidikan
anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru harus mempunyai semacam kualifikasi formal.
Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang
baru dapat juga dianggap seorang guru.
Menjadi guru adalah menghayati
profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi, dengan pekerjaan lain adalah bahwa
untuk sampai pada profesi itu seseorang berproses lewat belajar. “Profesi
merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan dalam suatu hierarki
birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk
jabatan itu serta pelayanan baku terhadap masyarakat.
Lalu bagaimana hubungan Guru
dengan “Panggilan Jiwa”, seperti yang sudah diungkapkan diatas, apabila
dimaknai, menjadi tenaga pendidik sekaligus pengajar tentu sesuatu yang sangat
luar biasa, mendidik bukan perkara yang mudah, merubah pola pikir anak didik,
menciptakan “maind set” baru terhadap pemikiran anak, sungguh sangat
membutuhkan kejelian, kesabaran, keuletan serta tenaga yang ekstra. Panggilan
jiwa adalah keikhlasan dalam menjalankan
berbagai kegiatan dengan sepenuh hati tanpa keragu-raguan, bahkan mungkin akan
mengesampingkan apa yang disebut dengan harta dan materi. Panggilan jiwa
menciptakan power yang luar biasa dalam setiap kegiatan dan pekerjaan, tidak
ada unsur paksaan, tidak ada unsur keterpaksaan, tidak juga karena iming-iming
materi atau bahkan bukan karena tidak ada pekerjaan lain selain menjadi guru.
Menjadi guru sudah seharusnya
menggabungkan 2 makna antara profesi dan panggilan jiwa, menjalani sebuah
profesi dengan didasari panggilan jiwa, sangat berperan penting untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, mengolah generasi negeri mejadi generasi yang
tangguh pikiran dan akhlak, mewarnai pemikiran dengan segenap hati akan
memberikan efek yang luar biasa pada anak didik.
Guru, jadilah tauladan bagi anak
didik, tauladan yang mencontohkan hal-hal yang baik bagi anak didik, jadilah
seperti falsafahnya Raden Mas Suryadi Suryaningrat, dengan Tutwuri Handayani
nya. Niscaya generasi bangsa tidak ada lagi tawuran, tidak adalagi anak didik
di pukul secara fisik oleh guru, tidak adalagi contek-mencontek urusan UN,
tidak ada lagi perbuatan curang disemua sisi kehidupan.
Guru adalah Mendidik, mendidik adalah profesi dan
panggilan jiwa.