Sabtu, 21 April 2012

GURU, Profesi atau Panggilan Jiwa


GURU
Mendengar istilah "guru" yang terbayang dalam benak kita adalah sosok seseorang dalam lagu legendaris Oemar bakrienya kang Iwan Fals, seorang laki-laki yang agak tua dengan setelan sederhana bersahaja, menenteng map atau buku dengan segala isi tetek bengek absen murid bengalnya, mendorong sepeda butut. Mendengar istilah "guru" yang terbayang kembali adalah orang yang sederhana dengan gaji pas-pasan, yang harus mencari tambahan pekerjaan di usai waktu mengajarnya, demi menghidupi anak dan istri, kalo tak "nyambi" maka anak istri bisa jadi kelaparan dipertengahan bulan sampai di akhirnya. Kata guru dalam terminology Jawa "di gugu dan ditiru" ( didengarkan omonganya dan ditirukan segala tingkah lakunya ), makna itu semakin kabur, sudah sangat susah memaknai kata tersebut. Dalam sejarah perdaban  manusia dimanapun tempatnya yang disebut guru mempunyai makna yang mendalam dalam kehidupan masyarakat. Sedikit berkilas balik. Jepang di ambang kehancuranya setelah diberikan hadiah mematikan oleh sekutu berupa "Little Boy" yang meluluh lantakan Herosima dan Nagasaki, yang pertama kali di tanyakan oleh Kaisar Jepang waktu itu adalah " guru yang selamat ada berapa...? ", betapa mulianya posisi guru bila dimaknai dengan baik.
Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru  harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.
Menjadi guru adalah menghayati profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi, dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk sampai pada profesi itu seseorang berproses lewat belajar. “Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan itu serta pelayanan baku terhadap masyarakat.
Lalu bagaimana hubungan Guru dengan “Panggilan Jiwa”, seperti yang sudah diungkapkan diatas, apabila dimaknai, menjadi tenaga pendidik sekaligus pengajar tentu sesuatu yang sangat luar biasa, mendidik bukan perkara yang mudah, merubah pola pikir anak didik, menciptakan “maind set” baru terhadap pemikiran anak, sungguh sangat membutuhkan kejelian, kesabaran, keuletan serta tenaga yang ekstra. Panggilan jiwa  adalah keikhlasan dalam menjalankan berbagai kegiatan dengan sepenuh hati tanpa keragu-raguan, bahkan mungkin akan mengesampingkan apa yang disebut dengan harta dan materi. Panggilan jiwa menciptakan power yang luar biasa dalam setiap kegiatan dan pekerjaan, tidak ada unsur paksaan, tidak ada unsur keterpaksaan, tidak juga karena iming-iming materi atau bahkan bukan karena tidak ada pekerjaan lain selain menjadi guru.
Menjadi guru sudah seharusnya menggabungkan 2 makna antara profesi dan panggilan jiwa, menjalani sebuah profesi dengan didasari panggilan jiwa, sangat berperan penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengolah generasi negeri mejadi generasi yang tangguh pikiran dan akhlak, mewarnai pemikiran dengan segenap hati akan memberikan efek yang luar biasa pada anak didik.
Guru, jadilah tauladan bagi anak didik, tauladan yang mencontohkan hal-hal yang baik bagi anak didik, jadilah seperti falsafahnya Raden Mas Suryadi Suryaningrat, dengan Tutwuri Handayani nya. Niscaya generasi bangsa tidak ada lagi tawuran, tidak adalagi anak didik di pukul secara fisik oleh guru, tidak adalagi contek-mencontek urusan UN, tidak ada lagi perbuatan curang disemua sisi kehidupan.
Guru adalah Mendidik, mendidik adalah profesi dan panggilan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar